Jumat, 06 Februari 2009

cerah ceria


Mencapai Kebahagiaan
Mencapai hidup yang bahagia sebenarnya tidak sulit. Kebahagiaan sebenarnya bersumber di dalam diri kita, bukan di luar sana. Untuk mencapai kebahagiaan, kita cuma perlu menyelami diri kita sendiri. Menelusuri hati dan paradigma kita sendiri. Ada lima hal yang sering menyebabkan kita tak bahagia; Pertama, adanya keyakinan bahwa Anda tidak akan bahagia tanpa memiliki hal-hal yang Anda pandang bernilai. Anda sudah memiliki pekerjaan tetap dan tingkat kehidupan yang lumayan, tapi Anda masih merasa kurang. Anda merasa akan berbahagia bila memiliki uang lebih banyak, rumah lebih besar, mobil lebih bagus, dan sebagainya. Pikiran Anda dipenuhi oleh benda-benda yang Anda kira dapat membahagiakan Anda. Padahal, Anda tidak bahagia karena lebih memusatkan perhatian pada segala sesuatu yang tidak Anda miliki, dan bukannya pada apa yang Anda miliki sekarang. Kedua, Anda percaya bahwa kebahagiaan akan datang bila Anda berhasil mengubah situasi dan orang-orang di sekitar Anda. Anda tak bahagia karena pasangan, anak, tetangga, dan atasan Anda tidak memperlakukan Anda dengan baik. Kepercayaan ini salah. Anda perlu menyadari bahwa amat sulit mengubah orang lain. Bukannya berarti Anda harus menyerah, silakan terus berusaha mengubah orang lain. Namun, jangan tempatkan kebahagiaan Anda di sana. Jangan biarkan lingkungan dan orang-orang di sekitar Anda membuat Anda tak bahagia. Kalau Anda tak dapat mengubah mereka, yang perlu Anda ubah adalah diri Anda sendiri, paradigma Anda. Ketiga, keyakinan bahwa Anda akan bahagia kalau semua keinginan Anda terpenuhi. Padahal, keinginan itulah yang membuat kita tegang, frustrasi, cemas, gelisah dan takut. Terpenuhinya keinginan Anda paling-paling hanya membawa kesenangan dan kegembiraan sesaat. Itu tak sama dengan kebahagiaan. Keempat, Anda tak bahagia karena cenderung membanding-bandingkan diri Anda dengan orang lain. Saya pernah bertemu eksekutif yang berkali-kali pindah kerja hanya karena kawan akrabnya semasa kuliah dulu memperoleh penghasilan lebih besar dari dirinya. Karena itu, setiap ada tawaran kerja, yang dilihat adalah apakah ia dapat mengungguli atau paling tidak menyamai penghasilan kawannya. Ia bahkan tak peduli bila harus berganti karier dan pindah ke bidang lain. Sampai suatu saat ia menyadari bahwa tak ada gunanya "mengejar" sahabat karibnya. Sejak itulah ia mencari pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan minatnya sendiri. Ia kini bahagia dengan pekerjaannya dan tak pernah ingin tahu lagi penghasilan sahabatnya. Kelima, Anda percaya bahwa kebahagiaan ada di masa depan. Anda terlalu terobsesi pepatah "bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian". Kapan Anda bahagia? "Nanti, kalau sudah jadi manajer," kata Anda.Persoalannya, saat menjadi manajer, Anda tambah sibuk, waktu Anda tambah sempit. "Saya akan bahagia nanti, kalau sudah menjadi direktur atau dirjen, gubernur, menteri, presiden." Nah, daftar tunggu ini masih dapat terus diperpanjang. Namun, Anda tak juga bahagia. Kalau demikian yang terjadi adalah, "bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang entah kapan." Kebahagiaan telah Anda letakkan di tempat yang jauh. Padahal, sebenarnya kebahagiaan berada sangat dekat dan dapat Anda nikmati di sini, sekarang juga! Apa yang terjadi pada kita mungkin serupa dengan pengalaman dua ekor ikan berikut. Ikan yang muda bertanya kepada ikan yang lebih senior. "Anda lebih berpengalaman dari saya. Di manakah saya dapat menemukan samudra kebahagiaan? Saya sudah mencarinya ke mana-mana, tetapi sia-sia saja!" "Samudra adalah tempat engkau berenang sekarang," ujar ikan senior. "Hah? Ini hanya air! Yang kucari adalah samudra," sangkal ikan yang muda. Dengan perasaan sangat kecewa ia pergi mencarinya di tempat lain. Hal itu juga dapat terjadi pada Anda. Padahal, kebahagiaan itu tak perlu Anda cari.Anda hanya perlu menumbuhkan kesadaran dan menikmati apapun yang sedang Anda lakukan. Dengan demikian, Anda akan menemukan kebahagiaan itu sekarang. Saat ini juga!


from: http://n1n4m4hd1.blogspirit.com/archive/2005/05/09/mencapai_kebahagiaan.html

cerah ceria


something in our life
Bagaimana ukuran kebahagiaan seseorang ditentukan ? Tidak ada yang dapat menentukan ukuran kebahagiaan seseorang selain yang menjalaninya sendiri. Bisa saja kita melihat orang yang (tampaknya) begitu berbahagia dengan hidupnya, namun belum tentu apa yang kita lihat sama dengan apa yang terjadi, juga sebaliknya. Biasanya kecenderungan seseorang, membandingkan sesuatu (yang buruk) pada dirinya dengan sesuatu (yang baik) pada orang lain. Setelah itu, yang terjadi pasti merupakan hasil pengurangan dari apa yang kita terima.Kebahagiaan itu lebih ditentukan atas “penerimaan” seseorang terhadap sesuatu. Lebih mengarah ke kondisi psikologis seseorang. Kebahagiaan psikologis seseorang dapat terdiri atas perasaan optimis, gembira, dan baik akan diri sendiri. Seseorang dalam kondisi seperti ini akan selalu merasa bersemangat, berhasrat untuk terus melakukan sesuatu dan membangun hubungan baik dengan orang lain.Sebaliknya, hal yang berlawanan dengan itu, terdiri atas perasaan depresi, sedih, sepi, dan merasa tidak berdaya melakukan apapun. Seseorang dalam kondisi seperti ini akan merasa gelisah, tegang dan merasa tidak tenang.Kebahagiaan itu, meski merupakan sesuatu yang abstrak, tidak dapat digambarkan secara jelas, namun tiap orang dapat merasakannya bersama yang lain. Misalnya saja, bila seseorang sedang berbahagia, kita juga dapat ikut merasakan kebahagiaan itu, dan juga sebaliknya. Keadaan seperti ini merupakan bentuk empati kita kepada orang lain.Bagaimana kebahagiaan dapat kita temui? Tentu dengan menyadari kebahagiaan itu sendiri. Yang terkadang kita lupakan adalah membandingkan kadar kebahagiaan dalam porsi yang berbeda. Membandingkan kebahagiaan kita atas apa yang diterima orang lain. Padahal belum tentu juga kita akan merasa bahagia dengan kondisi yang sama dengan orang yang kita pakai sebagai perbandingan.Keadaan dimana ‘penerimaan’ kita akan sesuatu hal menjadi ‘berkurang’ kadarnya, lambat laun akan menimbulkan kesedihan. Kalau sudah seperti ini, perasaan kita cenderung menjauh dari rasa bahagia. Padahal, kesedihan ini, kita sendiri yang membuatnya, dan mendramatisirnya sedemikian rupa hingga menutupi kebahagiaan kita.Bukannya kita dilarang untuk bersedih. Boleh2 saja, wajar namanya manusia, memiliki kadar susah senang dengan grafik yang naik turun. Ini tergantung bagaimana kita menyikapinya ( memang ujung-ujungnya penyelesaian ada pada diri kita :) Mau terus bersedih, atau berbahagia selamanya…Menerima segala sesuatu dengan lapang dada, mensyukuri atas apa yang kita terima hanya salah satu diantara beragam cara untuk menuju rasa bahagia. Tidak perlu jauh2 mencari kebahagiaan, dalam diri kita sudah dikaruniai banyak hal yang membahagiakan bila kita lebih jeli lagi melihat ‘kedalam’, bukan ‘keluar’. Kita dapat ‘membuat’nya, kita juga dapat ‘menghalau’nya dalam sekian detik.Wish you always feel happy… :)No sad, No tears, No pain… anymore…